BANDUNG – Setelah disentil Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian soal capaian realisasi Anggaran Penerimaan Belanja Daerah (APBD) 2025 Jawa Barat tidak lagi nomor satu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kini dikritik Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono.
Ono menuturkan, kinerja fiskal Jawa Barat tertinggal dibandingkan daerah lain seperti DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat (NTB), terutama dalam semester awal tahun anggaran 2025.
Dilansir dari TribunJabar, Tito Karnavian sempat memaparkan persentase pendapatan dan belanja daerah Semester 1 2025.
Tito menerangkan, persentase realisasi pendapatan Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 57,43 persen, berada di atas Jawa Barat yang sebesar 44,72 persen.
Kini, Ono pun menyebut hal tersebut harus menjadi alarm untuk Jawa Barat.
“Kami sebagai unsur legislatif tentu sangat prihatin. Ini harus menjadi alarm. Jawa Barat adalah provinsi dengan potensi ekonomi terbesar kedua nasional, tapi justru tertinggal dalam kinerja keuangan daerah,” ujar Ono Surono, Rabu (9/7/2025).
“Kita perlu jujur melihat fakta. Ini bukan sekadar urusan anggaran, tapi menyangkut pelayanan publik, pengurangan pengangguran, pembangunan infrastruktur, dan kesejahteraan rakyat,” ucap Ono.
Melihat kondisi ini, Ono meminta Dedi Mulyadi untuk membuka ruang kepemimpinan yang lebih kolektif dan kolaboratif.
Ia mengingatkan agar pengambilan keputusan tidak lagi bersifat individual.
“Era saat ini menuntut kepemimpinan berbasis teamwork, bukan one man show. Kapasitas Gubernur tidak diragukan, tetapi harus dibarengi dengan pelibatan OPD, wakil gubernur, mitra DPRD, dan stakeholder lainnya secara intensif,” katanya.
Ketua DPD PDI-P Jawa Barat itu juga mendorong Gubernur membangun sistem perencanaan dan pengawasan yang lebih kuat, membuka ruang masukan dari bawah, dan mengaktifkan kembali peran teknokratik birokrasi.
“Bukan hanya mengandalkan pendekatan populistik semata,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan kritik yang disampaikannya bukan dalam konteks oposisi politik, melainkan sebagai bagian dari fungsi pengawasan DPRD.
“Kami siap mendukung jika ada langkah korektif. DPRD bukan lawan, tapi mitra konstitusional Gubernur. Namun kami juga tidak bisa tinggal diam bila tren ini dibiarkan tanpa koreksi,” ujarnya.
Ia berharap Gubernur segera merumuskan langkah strategis dalam refocusing anggaran semester kedua, meningkatkan kinerja OPD, serta memperbaiki hubungan kerja dengan DPRD.
“Rakyat Jawa Barat menaruh harapan besar. Kita semua bertanggung jawab menjawabnya dengan kerja, data, dan kebijakan yang berdampak langsung bagi kesejahteraan,” tutup Ono.
Respons Dedi Mulyadi
Diberitakan Tribunjabar.id sebelumnya, Dedi Mulyadi disentil Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat saat Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, Senin 7 Juli 2025.
Dedi Mulyadi disenggol gara-gara capaian realisasi Anggaran Penerimaan Belanja Daerah APBD 2025 Jawa Barat tak lagi nomor satu.
Provinsi Jabar selalu berada di peringkat pertama. Namun, kali ini kalah dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
“Dulu Jawa Barat nomor satu, sekarang Kang Dedi Mulyadi (KDM) kalah sama Ngarso Dalem Sri Sultan (Sri Sultan Hamengkubuwono X). Dan Pak Lalu Iqbal dari NTB sekarang di atas Jawa Barat,” ujar Tito, saat Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah.
Tito pun meminta agar Dedi Mulyadi dan jajarannya segera melakukan evaluasi dan percepatan realisasi anggaran.
“Gubernur Dedi Mulyadi harus bergerak cepat. Jawa Barat selama ini selalu menduduki puncak klasemen nasional dalam hal serapan APBD. Sekarang, posisinya merosot dan ini patut jadi perhatian serius,” ucapnya.
Dedi Mulyadi menyebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 banyak dialokasikan untuk membayar utang dan sejumlah kewajiban.
Dikatakan Dedi, APBD 2025 yang ditetapkan mencapai Rp 37 triliun.
Dari jumlah tersebut, Rp 6 triliun di antaranya dibagi ke kabupaten/kota sebagai dana bagi hasil kendaraan bermotor.
Sisanya Rp31 triliun, tidak sepenuhnya dapat digunakan untuk program-program publik.
Sebab, pemerintah harus membayar sejumlah utang dan kewajiban seperti utang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp600 miliar, Tunggakan BPJS Rp334 miliar, biaya operasional Bandara Kertajati, Rp60 miliar, Operasional Masjid Al-Jabbar, sekitar Rp40 miliar dan tunggakan ijazah siswa Rp1,2 triliun, yang dibayarkan melalui dana Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU).
“Banyak yang tanya, berapa anggaran Jabar tahun ini? Rp31 triliun. Tapi jangan dikira semuanya bisa dipakai. Kami harus bayar dulu utang PEN, BPJS, operasional Kertajati, sampai Masjid Al Jabbar,” ujar Dedi Mulyadi, Rabu (9/7/2025).
Menurutnya, meski kebutuhannya banyak Pemprov Jabar tetap berupaya mengelola anggaran dengan ketat agar dampak dari pembangunan bisa dirasakan oleh masyarakat.
“Uangnya terbatas, tapi kebutuhan rakyat tetap harus dilayani. Jalan harus bagus, bencana harus ditangani, anak sekolah harus bisa lanjut, santri tetap dapat beasiswa. Itu komitmen saya,” katanya.
Dedi mengakui situasi ini tidak mudah. Namun ia menjamin tak akan lari dari tanggung jawab. Pengetatan belanja dilakukan, tapi tidak dengan mengorbankan hak rakyat.
“Mohon doa dari masyarakat. Kami akan terus bekerja meski dengan nafas fiskal yang pendek,” ucapnya.
Sumber : TribunJabar