KARAWANG – Ormas Laskar Merah Putih (LMP) Mada Jabar mengapresiasi kabar rencana Bupati Karawang, H. Aep Syaepuloh yang akan menghapus pokir anggota DPRD Karawang.
Wakil Ketua LMP Mada Jabar, Andri Kurniawan mengatakan, yang dimaksud Bupati Karawang adalah bukan menghapuskan pokir dewan. Melainkan menghilangkan budaya intervensi anggota dewan untuk menunjuk penyedia jasa tertentu (pemborong).
“Yang dimaksud pak bupati bukan menghapus pokir dewan. Karena pokir dewan sudah diatur dalam UU MD3. Yang dihapus adalah budaya intervensi dewan untuk menunjuk penyedia jasa,” tutur Andri Kurniawan, kepada Opiniplus.com, Minggu (10/8/2025).
Dijelaskan Andri, ada dua sistem aspirasi pembangunan yang selama ini diterapkan pemerintah. Pertama, melalui Musrenbang baik itu di tingkatan desa, kecamatan hingga kabupaten. Kedua, melalui aspirasi yang masuk anggota dewan.
Namun persoalannya, selama ini aspirasi pembangunan dari masyarakat melalui anggota dewan dibatasi. Yaitu dimana setiap pokir dewan dijatah Rp 6 miliar. Sehingga sistem ini terkesan seolah-olah bagi-bagi kue antara eksekutif dengan legislatif.
“Seharusnya memang tidak dibatasi. Jadi berapapun aspirasi yang masuk ke anggota dewan, ya semuanya harus ditampung eksekutif. Cuma yang jadi catatan itu tadi, anggota dewan tidak boleh menunjuk penyedia jasa,” katanya.
Menurut Andri, budaya anggota dewan untuk menunjuk penyedia jasa ini berpotensi dengan masalah hukum kasus suap menyuap. Karena si penyedia jasa biasanya harus menyetor sekitar 5% bahkan lebih kepada anggota dewan tertentu yang akan memberikan proyek pokir dewan.
“Kalau eksekutif minta jatah 10% kepada penyedia jasa, saya belum menemukan datanya, harus ditelusuri dulu. Tapi kalau dewan minta jatah 5% ke penyedia jasa, LMP pernah melaporkan dugaan kasusnya ke Kejaksaan pada tahun 2022,” katanya.
Bahkan diulas Andri, pada tahun 2022 ada anggota dewan yang dengan ‘kepolosannya’ membuat surat ke dinas untuk memberikan pokirnya kepada penyedia jasa tertentu.
“Budaya-budaya intervensi seperti inilah yang mungkin dimaksudkan akan dihapus pak bupati. Dan LMP sangat mendukung langkah pak bupati tersebut. Karena budaya-budaya intervensi di pokir dewan seperti ini biasanya berujung kasus suap menyuap,” katanya.
Kembali diulas Andri, kasus dugaan suap menyuap seperti ini juga pernah diungkap Kejaksaan Negeri Karawang pada awal tahun 2024 lalu. Yaitu kasus korupsi PJU Dishub Karawang Rp 2,8 miliar tahun anggaran 2022.
Saat itu, kata Andri, salah satu tersangka berinisial DP tidak terbukti menerima uang suap. Tetapi karena statusnya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), akhirnya DP tetap dijadikan sebagai salah satu tersangka.
“Artinya, kalau budaya intervensi pokir dewan (dewan menunjuk penyedia jasa) ini terus dibiarkan, ini bahaya bagi pejabat esekutif. Karena keterlibatan dewan dalam realisasi pokir kan tidak tercantum secara administrasi dalam kontrak kerja. Yang ada hanya antara pejabat eksekutif sebagai PPK dengan penyedia jasa,” ucap Andri.
“Artinya, kalau ada temuan kasus suap menyuap di pokir dewan, yang kenapa tetap pejabat eksekutif dan penyedia jasa, sementara anggota dewan bisa lolos dari jeratan hukum. Makanya kami LMP mendukung langkah pak bupati,” tandasnya.***