HIKMAH dibalik perdebatan tentang Naker Lokal yang berawal dari dugaan pernyataan rasis salah satu manajemen perusahaan di kawasan KIIC Karawang membuat publik menjadi terbangun dari tidur panjang.
Ternyata pengangguran adalah persoalan sangat serius, sehingga wajib ditangani secara serius pula oleh para pengelola kebijakan. Jadi patah sudah klaim tidak logis beberapa pejabat yang pernah mengeluarkan pernyataan bahwa Angka Pengangguran di Karawang mengalami penurunan.
Ucapan Ahok beberapa tahun silam yang dianggap penistaan agama, mendorong sebagian besar ummat islam untuk mau membuka, membaca, dan menterjemahkan Alqur’an.
Begitupun stereotif yang dilabelkan seorang HRD perusahaan kepada warga lokal (pengangguran) Karawang, telah membangkitkan rasa penasaran beberapa pihak untuk mencari, membuka, mempelajari,serta memperdebatkan nasib Perda No. 1 tahun 2011 dan Perbub No. 8 Tahun 2016 yang membahas seputar ketenagakerjaan warga lokal.
Tentu publik, terutama angkatan kerja, berharap hingar bingar ini tidak jadi panggung dadakan yang cepat bubar dan hanya menyisakan tumpukan sampah. Wajib jadi bahan evaluasi semua stakeholder lalu merancang langkah strategis dan merealisasikannya untuk kepentingan warga Karawang, tidak boleh sebatas menguntungkan (sisi politis dan atau ekonomis) elite tertentu.
Mari kita fokus dan mengkaji secara lebih komprehensif aturan daerah tentang keberpihakan Pemerintah terhadap nasib Naker lokal :
Pertama, Nasib Perda dan Perbup. Karawang sudah menerbitkan Perda tentang Keterserapan naker Lokal melalui Perda No. 1 tahun 2011, yang tentu saja karena jenisnya Perda, maka penyusunananya melibatkan pihak eksekutif dan juga Legislatif.
Lalu pada tahun 2016 dibuatlah Perbup yang ditandatangani oleh Bupati Cellica. Bayangkan selama 5 tahun Perda hanya dijadikan pajangan/ prasasti tanpa guna, sebab Perda tidak bisa jalan tanpa ada aturan turunan berupa Perbup. Jadi, selama itu pula Legislatif sebagai institusi controlling membisu, tak berbuat apapun atas ketidaknormalan pihak eksekutif.
Padahal Penyusunan Perda mengunakan anggaran yang bersumber dari duit rakyat. Rentang 5 tahun itu Eksekutif seperti kena stroke sebelah kiri dan DPRD terkena stroke sebelah kanan.
Di tahun 2016, tak berselang lama setelah terbit Perbup, Pemerintah Propinsi melalui Sekda Jabar mengeluarkan pernyataan bahwa Perda dan Perbup Naker Lokal Karawang tersebut ditolak oleh Mendagri dengan alasan mengandung diskriminasi dan bertentangan dengan aturan diatasnya.
Tragis memang, dan makin tragis ketika Pemkab tidak terlihat merespon, merasionalisasi ataupun melakukan upaya-upaya kontra statement untuk mempertahankan produk hukum tersebut.
Saya tidak faham dengan pola fikir Pemkab, kenapa bersikap pasif tak melakukan upaya apapun untuk kepentingan yang lebih besar. Padahal alasan diskriminasi yang dipake oleh Pusat masih bisa diperdebatkan.
Kewajiban mempekerjakan Naker lokal 60% adalah diskriminasi positif atau diistilahkan dengan AFFIRMATIVE ACTION. Itulah makna keadilan (proporsional), bukan sama rata.
Malah kita bisa berdalih dengan langsung merujuk pada UUD 1945 pasal 28 H (2) tentang kemudahan dan perlakuan khusus sebagai hak setiap warga negara. Beberapa contoh sejenis diskriminasi positif, bisa kita lihat di aturan tentang syarat keterwakilan perempuan dalam pemilu atau pemberlakuan sistem zonasi saat Penerimaan Siswa Baru.
Nah, jalan cerita inilah yang oleh sebagian besar publik beranggapan bahwa Perda dan perbup tentang Naker Lokal sudah tidak berlaku.
Kedua, Pemda Tak Boleh Cuci Tangan. Saya menilai, kesalahan terbesar ada di Pemkab Karawang, sehingga keriuhan publik terkait pengangguran kembali muncul dan akan terus terulang. Pengangguran itu laksana bom waktu yang bisa meledak kapanpun. Kondisi ini jika dibiarkan akan membahayakan kehidupan sosial dan pemerintahan.
Selama pengangguran hanya dijadikan bahan kampanye yang laku dijual atau panggung drama yang memukau, maka sampai kapanpun gejolaknya tak akan berkurang, malah bertambah eskalasinya.
Dalam beberapa kasus kita patut mengkritisi Pihak Industri yang terlihat membandel dan miskordinasi, namun pelanggaran paling banyak justru dilakukan oleh Pemkab sebagai pengelola dan tempat rakyat bersandar mengadu, selain Tuhan.
Mari kita buka dan baca dengan teliti isi Perda No. 11 tahun 2011. Kewajiban Perusahaan mengakomodir 60% naker lokal tercantum dalam Pasal 25, dan di pasal-pasal sebelumnya justru menegaskan tentang KEWAJIBAN PEMDA, baik itu dalam penyiapan program, sistem informasi, pelayanan dan penyaluran Naker, pelatihan dan produktifitas SDM, serta ketersediaan sarana prasana.
Apakah Pemda sudah menunaikan kewajiban yang diamanatkan dalam Perda?. Terus bagaimana pengelolaan CSR sebagai salah satu bukti kepedulian perusahaan terhadap pembangunan di Karawang?.
Dua tugas itu saja Pemda masih terlihat gelap. Sehingga Sangat lucu jika polemik Pengangguran di Karawang, tuduhannya lebih diarahkan kepada perusahaan, sedangkan Pemda malah terlihat cuci tangan, tak merasa punya dosa besar.
Buktikan dulu keseriusan Pemerintah, tunaikan kewajiban sesuai yang termaktub dalam Peraturan yang dibuatnya sendiri. Setelah amanat Perda ditunaikan oleh Pemkab, barulah telunjuknya bisa geser arah ke mata dan dada perusahaan.
Penulis,
RICKY MULYANA
Direktur Eksekutif Karawang Budgeting Control (KBC)