PURWAKARTA – Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Purwakarta memastikan pondok pesantren tempat SS (52) oknum pimpinan pondok pesantren (Ponpes) di Kecamatan Kiarapedes, Kabupaten Purwakarta yang mencabuli santriwatinya berinisial H (17) tidak memiliki izin.
Diketahui, kini oknum pimpinan ponpes di wilayah Kecamatan Kiarapedes itu ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Purwakarta.
Kepala Kantor Kementrian Agama (Kemenag) Kabupaten Purwakarta, DR. H Hanif Hanafi menyebut pondok pesantren tempat oknum pelaku pencabulan itu tidak memiliki izin.
“Tim dari Kemenag Kabupaten Purwakarta sudah turun ke lokasi. Informasi didapatkan bahwa lembaga tersebut bukan lembaga pesantren, soalnya tidak memiliki izin operasional atau belum terdaftar di Kemenag,” ucap Hanif, Pada Rabu, 30 Juli 2025.
Dalam data Kemenag, lanjutnya, lembaga tersebut belum terdaftar atau belum punya Tanda Daftar Pesantren berupa Nomor Statistik Pesantren (NSP) yang ditandai dengan Piagam Statistik Pesantren (PSP) sebagaimana amanah UU NO 18/2019 tentang Pesantren yg tertuang dalam PMA No 30/2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren.
Karena tidak resmi terdaftar, kata Hanif, maka Kemenag tak bisa mengevaluasi proses belajar mengajar tempat pencabulan itu terjadi.
“Saya tidak bisa menyikapi kasus itu, karena bukan kewenangan kami juga kan. Tapi kami mendukung penuh penegakan hukum yang dilakukan Polres Purwakarta. Setiap tindak pidana, siapa pun pelakunya, serta kapan dan di manapun kejadiannya, harus ditindak tegas,” ucap Hanif.
Ditambahkan dia, Kemenag Purwakarta juga terus melakukan sejumlah langkah pencegahan dan upaya preventif agar peristiwa yang sama tidak terulang. Upaya tersebut antara lain dengan melakukan pembinaan dan sosialisasi pesantren ramah anak.
“Kami punya buku panduan pesantren ramah anak. Ini kami sosialisasikan,” ucapnya.
Kemenag, kata Hanif, juga terus menjalin komunikasi dengan pesantren untuk saling mengingatkan bahwa santri adalah titipan orang tua kepada para kiai dan ustaz. Sehingga, santri harus diperlakukan seperti anak sendiri.
“Artinya, santri harus mendapatkan perlindungan dan pembelajaran. Kalau sakit, diobati. (santri) Tidak boleh mendapatkan kekerasan. Ini terus kami komunikasikan dan sosialisasikan,” jelas Hanif.
Sementara itu, dia mengimbau agar orang tua ke depan agar lebih selektif dan mengecek sungguh-sungguh izin serta pendirian sebuah lembaga pesantren.
“Masyarakat diminta tidak hanya melihat merek ponpes lalu memasukkan anak tanpa melihat izin ponpes dari Kementerian Agama. Kami selalu mengimbau kepada masyarakat agar masyarakat selektif dan jeli melihat pesantren. Masyarakat hendaknya sebelum membawa putra putrinya ke lembaga pendidikan untuk lebih awal mengecek apakah punya izin atau tidak,” ujarnya.
Lembaga pendidikan, lanjut Hanif, khususnya pesantren, diimbau untuk meningkatkan sistem perlindungan anak dan menjamin integritas seluruh pengasuh. “Harus memastikan bahwa seluruh tenaga pendidik dan pengasuh memegang teguh amanah, etika, norma dan adab dalam mendidik,” terangnya.***
Sumber : Sinarjabar.com