Tingkat kepuasan warga Jawa Barat (Jabar) terhadap Gubernur Dedi Mulyadi sebesar 94,7%. Namun, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Pemprov Jabar yang dipimpin oleh Kang Dedi Mulyadi (KDM) hanya 53%.
Jomplangnya popularitas Dedi Mulyadi dengan kepuasan warga terhadap kinerja Pemprov Jabar menjadi salah satu isu paling disorot, menurut Brief Update BDS Alliance oleh Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (Makpi) pada Mei 2025.
Apakah ini sebuah indikasi Dedi Mulyadi hanya fokus pencitraan diri ketimbang meningkatkan kinerja pemerintahan yang dipimpinnya?.
Potret jomplangnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap KDM dan kinerja Pemprov Jabar diperoleh setelah Indikator Politik Indonesia (IPI) melakukan survei penilaian warga setelah 100 hari Dedi Mulyadi menjabat gubernur Jawa Barat.
IPI juga melakukan penilaian terhadap gubernur-gubernur lain di wilayah Pulau Jawa melalui survei yang dilakukan pada 12-19 Mei 2025.
Hasil dari survei tersebut menunjukkan Dedi Mulyadi berada di puncak, dengan urutan di bawahnya, adalah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X 83,8%, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa 75,3%, Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi 62,5%, Gubernur Jakarta Pramono Anung 60%, dan Gubernur Banten Andra Soni 50,8%.
Meskipun publik Jabar sangat mengapresiasi unjuk kerja KDM, tetapi kepuasan publik terhadap kinerja Pemprov Jabar relatif rendah, hanya 53%.
Dari survei tersebut tergambar, ada kesenjangan penilaian antara pribadi KDM dengan institusi yang dipimpinnya.
Menurut Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi, hal tersebut menunjukkan KDM belum sepenuhnya berhasil mengarahkan kinerja birokrasi Pemprov Jabar secara maksimal.
Di sisi lain, tingkat kepuasan publik yang sedemikian tinggi terhadap KDM, menurut Burhanuddin, tidak murni berdasarkan faktor teknokratik atau kinerjanya saja.
Menurut dia, warga Indonesia banyak menyertakan faktor emosi atau afeksi ketika menilai tingkat kepuasan terhadap pemimpin.
Faktor emosi atau afeksi itulah yang sangat diperhatikan oleh KDM semenjak jauh hari. Dia sangat gencar menggunakan media sosial untuk membangun citra diri (personal branding), dengan aneka tema yang menarik perhatian publik.
KDM sangat memerhatikan dramatisasi dalam setiap isu yang dia munculkan. Contohnya, setelah ada banjir di Bogor, dia memerintahkan pembongkaran arena hiburan di kawasan Puncak yang dituding sebagai penyebab air tidak bisa meresap ke dalam tanah, sehingga terjadi banjir di wilayah bawah.
“Persepsi publik itu tidak semata-mata dibentuk oleh keberhasilan seorang pemimpin untuk menyelesaikan agenda teknokratik,” kata Burhanuddin.
“Jadi, jangan langsung buru-buru mengambil kesimpulan, bahwa faktor kinerjalah yang paling menyumbang,” sambungnya.
Pembangunan citra diri yang dilakukan KDM secara terencana tersebut mengekor jejak yang dilakukan Joko Widodo (Jokowi) semenjak menjabat wali kota Solo. Bahkan sampai kini, setelah selesai menjabat presiden, Jokowi masih sangat memerhatikan pengelolaan citra diri.
Personal branding Jokowi sebagai presiden populis telah tertanam kuat pada persepsi sebagian publik, sehingga apa pun yang dia lakukan dianggap benar dan penilaian negatif terhadap Jokowi, adalah salah.
Dari proses yang dilakukan KDM untuk menguatkan citra dirinya, terlihat arahnya akan membuahkan persepsi publik mirip yang didapat Jokowi. Publik membaurkan penilaian teknokratik dengan emosi, dan kerap kali justru emosilah yang paling dominan.
Sumber : beritasatu