KARAWANG – Atas tagihan tunggakan pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) PT. Vanesha Sukma Mandiri (VSM) yang nilainya mencapai Rp 4,5 miliar, sebagian publik menuding jika Pemkab Karawang diduga telah melakukan pemerasan terhadap pengusaha.
Bahkan beberapa orang mendesak agar Aparat Penegak Hukum (APH) memproses dugaan pemerasan ini.
Diketahui, PT. VSM telah melakukan kegiatan cut and fill (pemotongan dan penimbunan tanah), di lahan milik PT. Contemporary Amperex Technology Limited (CATL) di kawasan Karawang New Industry City (KNIC), Desa Wanajaya, Kecamatan Telukjambe Barat.
Atas tunggakan pajak yang belum dibayar, kegiatan cut and fill perusahaan ini sempat dihentikan aparat gabungan pada 15 Juli 2025 lalu. Tetapi setelah proses mediasi, pihak perusahaan akhirnya menyanggupi untuk membayar tunggakan pajak.
Tetapi benarkah desakan Pemkab Karawang kepada PT. VSM untuk segera melunasi pajak MBLB ini bisa masuk kategori pemerasan?.
Pengamat kebijakan publik atau Direktur Ekseskutif Karawang Budgeting Control (KBC), Ricky Mulyana menjelaskan, cut and fill merupakan pekerjaan umum dalam proyek konstruksi berskala besar, seperti jalan tol, perumahan, kawasan industri dan infrastruktur lainnya. Proses ini menghasilkan tanah galian (disposal) dalam jumlah besar.
Jika tanah hanya dipindahkan di area proyek yang sama (misalnya buat perataan lahan pabrik, jalan atau perumahan), maka tidak dipungut pajak MBLB. Karena tidak ada transaksi komersial/penjualan tanah ke pihak lain. Itu hanya pekerjaan konstruksi internal.
Tetapi jika tanah hasil galian dijual/dipindahkan ke luar lokasi proyek (disposal ke pihak ketiga, maka bisa menjadi objek Pajak MBLB, karena masuk kategori pemanfaatan/pengambilan mineral bukan logam (tanah urug) untuk kepentingan komersial.
Dasarnya adalah Pasal 55 UU No. 1 Tahun 2022 (HKPD) objek pajak MBLB meliputi tanah urug.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), serta Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengenai Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB), tanah urug termasuk dalam kategori objek pajak daerah.
Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa banyak tanah disposal dari proyek konstruksi dialihkan atau bahkan dijual tanpa dikenakan pajak daerah.
Dalam kasus PT. VSM yang dilakukan di lokasi bukan hanya cut and fill, tetapi lebih dari itu tanah disposal yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut di jual ke pihak ketiga. Sehingga pihak PT.VSM mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan tanah tersebut.
“Ini jelas ada penyalahgunaan disposal. Karena tanah galian yang disebut buangan malah dialihkan ke pihak ketiga untuk kepentingan komersial (sebagai material urug proyek lain),” tutur Ricky Mulyana, Selasa (23/9/2025).
Maka dari hasil pemantauan Pemda dalam hal ini Satpol PP dan Bapenda Karawang, ditemukan kejanggalan pada proyek cut and fill PT. VSM yang berpotensi hilangnya penerimaan daerah yang harus dipungut melalui pajak MBLB.
“Sebelum kita teruskan pada subtansi permasalahan, mari kita kenali dulu apa itu Pajak MBLB. Tanah hasil galian biasanya berupa tanah urug, termasuk objek mineral bukan logam dan batuan menurut UU HKPD 2022 dan Perda Pajak Daerah. Tanah yang dijual/ dialihkan ke pihak lain, maka wajib dikenakan pajak MBLB,” terangnya.
Dasar Hukum :
1. UU No. 1 Tahun 2022 (HKPD) – Pasal 55 ayat (1): Objek Pajak MBLB meliputi pengambilan mineral bukan logam dan batuan, termasuk tanah urug.
2. UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara – kegiatan pengambilan mineral wajib berizin.
3. Perda Pajak Daerah Kabupaten Karawang (tentang Pajak Daerah dan Retribusi) yang menetapkan tarif Pajak MBLB hingga maksimal 20% dari nilai jual.
4.Jika ditemukan penjualan tanah disposal tanpa setor pajak, Pemda dapat mengenakan sanksi administrasi dan pidana perpajakan daerah sesuai UU HKPD 2022.
Analisa Potensi Kebocoran
Volume tanah disposal dari satu proyek besar yang dilakukan oleh PT. VSM dalam kawasan industri dapat mencapai jutaan m³.
Contoh Jika 1000.000 m³ tanah urug dialihkan dengan harga Rp 50.000/m³, maka nilai jual = Rp 50 miliar.
Dengan tarif Pajak MBLB 20%, maka potensi pajak = Rp 10 miliar hanya dari satu proyek.
“Tanpa pengawasan, nilai sebesar ini rawan hilang dan tidak masuk kas daerah,” kata Ricky Mulyana.
Dalam kasus PT. VSM, sambung Ricky, sebenarnya ada diskresi yang dilakukan oleh Pemda dengan dasar dari pertimbangan lain, sehingga kena pajak berkurang dan bisa dilakukan pembayaran secara bertahap sesuai kemampuan pihak PT. VSM, dibanding aktivitas kegiatanya dihentikan, artinya disposal tidak bisa dijual ke pihak ketiga.
Mempelajari kasus bukan dilihat dari isunya saja, bahwa itu pungli atau apalah. Padahal dasar hukumnya sudah jelas bagaimana disposal yang dikomersilkan harus dikenakan pajak, agar PAD bertambah dan pengusaha pun tidak dikenakan pidana akibat ngemplang pajak.
“Jika kita harus mengkritisi secara objektif, berapa kena pajak MBLB pada PT. VSM?. Yang jelas sudah menjual disposal ke berbagai daerah?,” katanya.
Kegiatan cut and fill bukan semata pekerjaan konstruksi teknis, tetapi juga memiliki implikasi fiskal terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tanpa pengawasan, tanah disposal menjadi celah kebocoran pajak.
Oleh karena itu, Ricky menegaskan perlunya sistem kontrol terpadu, agar setiap pemanfaatan tanah urug yang bersifat komersial wajib dikenakan Pajak MBLB sesuai ketentuan.
“Kami berkomitmen terus mengawal agar tidak ada lagi potensi PAD yang hilang akibat lemahnya regulasi dan pengawasan di sektor ini,” tandasnya.****