JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyepakati strategi soal transfer ke daerah (TKD) yakni TKD harus dikelola secara sehat dan daerah harus lebih mandiri.
“Langkah ini bukan pemangkasan, tapi bagian dari strategi agar daerah lebih mandiri dan memiliki tata kelola keuangan yang sehat,” kata Tito dalam keterangannya di Jakarta, dilansir ANTARA, Minggu (26/10/2025).
Tito menuturkan pengalihan sebagian TKD adalah langkah strategis untuk mendorong pemerintah daerah agar lebih efisien dan fokus pada program yang berdampak langsung kepada masyarakat.
Tito dan Purbaya akan bersinergi mewujudkan transfer fiskal daerah agar menjadi transparan, produktif, dan berdampak untuk publik.
Purbaya menyebut total dana ke daerah 2025 tetap sekitar Rp 1.300 triliun, namun sebagian dialokasikan melalui kementerian agar penggunaan anggaran lebih terarah.
“Langkah ini mempertegas sinergi antara Kemendagri dan Kemenkeu dalam mengarahkan belanja daerah agar lebih produktif dan berorientasi pada hasil nyata bagi masyarakat,” ujarnya.
Kata Purbaya, Kemenkeu dan Kemendagri memiliki peran yang saling melengkapi.
Kemenkeu mengatur alokasi, penyaluran, dan pengawasan TKD, sedangkan Kemendagri mengawal teknis pengelolaan serta pengalihan TKD di daerah, memastikan anggaran digunakan sesuai rencana dan memberi dampak langsung kepada masyarakat.
Pengelolaan fiskal pusat dan daerah dinilai lebih jelas
Dosen Administrasi Bisnis Universitas Nusa Cendana, Ricky Ekaputra Foeh menilai langkah koordinatif antara Mendagri dan Menkeu menunjukkan babak baru reformasi fiskal nasional.
Menurutnya, untuk pertama kalinya dua kementerian strategis ini bergerak dalam satu garis kebijakan fiskal yang terpadu, di mana Kemendagri memperkuat fungsi pengawasan belanja daerah dan Kemenkeu memperkuat disiplin fiskal melalui regulasi penyaluran TKD.
“Selama ini, isu fiskal daerah sering terjebak pada tumpang tindih peran antara pusat dan daerah. Tapi kini, kita melihat arah yang lebih jelas, Kemenkeu dan Kemendagri tidak lagi berjalan paralel, melainkan bersinergi dalam satu kerangka transformasi fiskal yang terukur,” ujar Ricky.
Ia menjelaskan perbedaan data antara BI, Kemenkeu, dan Kemendagri terkait dana mengendap bukanlah indikasi kelemahan, tetapi tanda bahwa mekanisme pelaporan fiskal mulai diperhatikan secara serius dan saling diaudit.
“Kalau dulu perbedaan data dianggap masalah, sekarang justru menjadi momentum untuk membangun integrasi sistem pelaporan fiskal yang real-time dan kredibel. Sinergi dua kementerian ini bisa menjadi katalis untuk menciptakan satu portal fiskal nasional yang terintegrasi,” tuturnya.***


 
                                    