KARAWANG – Pusat Studi Konstitusi dan Kebijakan (PUSTAKA) menilai langkah hukum judicial review atau menggugat Surat Keputusan (SK) Bupati Karawang Nomor : 973/Kep.502-Huk/2021 tentang Penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) Tahun 2022 ke Mahkamah Agung (MA) merupakan tindakan yang tidak tepat.
Dian Suryana, Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Kebijakan (PUSTAKA) mengatakan, keputusan tersebut bukan merupakan peraturan yang berdiri sendiri, melainkan bentuk pelaksanaan dari Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah yang telah ditetapkan bersama DPRD.
“Salah kamar kalau ke MA. SK Bupati 973 itu bukan norma mandiri, tapi pelaksanaan teknis dari Perda Pajak Daerah. Ini bukan regeling (peraturan) tapi keputusan (beschikking). Jadi tidak masuk dalam kompetensi Mahkamah Agung untuk diuji,” jelas Dian, Rabu (23/10/2025).
Ia menegaskan, apabila masyarakat merasa dirugikan oleh keputusan tersebut, jalur hukum yang tepat seharusnya melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan Mahkamah Agung.
“MA hanya berwenang menguji peraturan yang bersifat umum, sementara SK ini bersifat administratif dan konkret. Kalau pun ingin menggugat, objeknya masuk wilayah PTUN, bukan uji materi MA,” tambahnya.
Dian juga menyoroti alasan formil yang kerap disampaikan, yaitu bahwa SK tersebut tidak didahului oleh Peraturan Kepala Daerah sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Keuangan. Menurutnya, dalil tersebut tidak sepenuhnya tepat.
“Tidak semua pelaksanaan kebijakan fiskal harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Kepala Daerah. Selama dasar hukumnya sudah jelas di Perda dan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan, SK pelaksana tetap sah secara administratif,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa kebijakan NJOP tersebut sudah berlaku sejak 1 Januari 2022 dan telah dijalankan selama tiga tahun anggaran.
Dalam hukum administrasi mengenal konsep kedaluwarsa administratif. Setelah kebijakan dijalankan dan menimbulkan akibat hukum tetap, ruang gugatnya tertutup.
“Bahkan dalam perkara PTUN pun, waktu untuk mengajukan gugatan hanya 90 hari sejak keputusan diterima atau diumumkan,” jelasnya.
Menurut Dian, pengajuan gugatan setelah tiga tahun kebijakan berjalan tidak proporsional dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
“Setiap kebijakan publik harus memiliki titik final agar pemerintahan bisa berjalan stabil,” tegasnya.
Meski demikian, Dian memahami keresahan masyarakat atas kenaikan NJOP yang dinilai memberatkan. Ia menilai persoalan tersebut seharusnya menjadi bahan evaluasi bersama antara pemerintah daerah dan DPRD.
“Kalau masyarakat menilai nilai NJOP terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan kondisi ekonomi, maka arah advokasinya bukan ke lembaga yudikatif, tapi ke lembaga legislatif daerah. DPRD memiliki kewenangan untuk meninjau ulang atau merevisi Perda Pajak Daerah,” katanya.
Ia menambahkan, apabila Perda direvisi, maka SK bupati akan otomatis disesuaikan, karena kedudukannya hanya sebagai pelaksana norma.
“Revisi Perda jauh lebih konstitusional dan produktif daripada membawa kebijakan administratif ke pengujian Mahkamah Agung,” pungkasnya.
Judicial Review Diajukan pada 20 Oktober 2025
Sebelumnya diberitakan, Surat Keputusan (SK) Bupati Karawang Nomor : 973/Kep.502-Huk/2021 tentang penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) digugat ke Mahkamah Agung (MA).
Judicial review mengenai kenaikan pajak 620% ini diajukan Andhika Kharisma, SH, CPL, atas permohonan gugatan beberapa masyarakat yang merasa keberatan atas kenaikan PBB yang dinilai mencekik ini.
Menariknya, judicial review kenaikan PBB di Karawang ini disebut-sebut pertama kali dilakukan di seluruh wilayah di Indonesia. Dan judicial review ini didampingi oleh Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum.
“Masyarakat biasanya bayar pajak Rp 400 ribu, tiba-tiba hampir Rp 3 juta lebih. Dasarnya ini, akhirnya secara prinsip kami melakukan pengujian keberatan materi ke MA atas kenaikan pajak 620% ini,” tutur Ketua Tim Penggugat- Andhika Kharisma, saat mengawali pernyataan kepada Opiniplus.com, Selasa (21/10/2025).
Menurut Andhika, dasar hukum penarikan pajak tahun 2021 yang dilakukan Pemkab Karawang seharusnya mengacu ke Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tahun 2014 yang kini dirubah ke PMK No. 85 tahun 2024.
Di dalam PMK tersebut, setiap pemerintah daerah termasuk Karawang diharuskan membuat Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang mengatur tata cara penilaian NJOP. Dan pungutan PBB di Karawang sejak tahun 2021 hingga saat ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
“Saya sudah inventarisir, sejak tahun 2021 Karawang ini belum memiliki Perkada. Terus selama ini mereka (pemda, red) menghitung nilai pajak dari mana?. Apa hanya menebak-nebak atau penilaian spekulatif personal?,” tanya Andhika.
Oleh karenanya, Andhika berharap MA bisa mengabulkan judicial review atas gugatan terhadap SK Bupati Karawang Nomor : 973/Kep.502-Huk/2021 ini.
Andhika pun menegaskan, ada konsekuensi hukum yang harus diterima Pembak Karawang, ketika judicial review ini dikabulkak MA.
“Saya harus berbicara pait mulai saat ini, itu pungutan pajak dari 2021 bagaimana (harus dikembalikan ke rakyat). Ya, sepertinya harus seperti itu,” sindirnya.
“Karena pungutan pajaknya tidak memiliki dasar hukum, ya mau tidak mau pemda harus mengembalikan. Karena ini kelebihan bayar namanya. Pemda yang harus berpikir bagaimana caranya, bukan saya!,” timpalnya.
Andhika juga menegaskan, jika judicial review dikabulkan MA, maka pemda tidak boleh memungut pajak kepada masyarakat, sebelum ada aturan baru yang sah dan mengikat.
“Ya sebelum nanti ada aturan yang baru, ya tidak boleh mungut pajak ke masyarakat,” tutup Andhika, seraya menegaskan jika judicial review telah didaftarkan pada 20 Oktober 2025.***