Pemerintah Provinsi Jawa Barat tetap melanjutkan program penempatan siswa bermasalah di barak militer.
Hal itu sebagai bagian dari upaya pembinaan karakter kendati menuai kritik tajam dari sejumlah lembaga.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengajak berbagai pihak untuk turut serta dalam menangani permasalahan perilaku siswa di wilayahnya.
Bahkan Gubernur Dedi menantang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) agar tidak hanya memberikan kritik, tetapi juga berperan aktif dalam program pembinaan tersebut.
Ia menegaskan bahwa pendekatan kolaboratif dapat menjadi solusi konkret dalam menangani permasalahan perilaku siswa.
Daripada sekadar berdebat dalam wacana, lebih baik kita turun tangan bersama. Provinsi Jawa Barat akan menangani 1.000 siswa dengan perilaku khusus,” katanya.
“Komnas HAM dan KPAI juga bisa ikut serta dengan pendekatan mereka masing-masing. Dari situ, kita bisa evaluasi metode mana yang paling efektif,” ujar Dedi, Rabu, 7 Mei 2025.
Pernyataan ini disampaikan menyusul munculnya kritik dari Komnas HAM dan KPAI terhadap program bernama Gerbang Pancawaluya yang dinilai berpotensi melanggar hak-hak anak.
Keduanya menilai pendekatan militeristik bukan bagian dari metode pendidikan yang sesuai dengan prinsip perlindungan anak.
Menurut Komisioner KPAI, penempatan siswa ke barak militer tidak didasari kajian ilmiah yang matang dan bertentangan dengan prinsip pendidikan dalam Konvensi Hak Anak (CRC), yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.
Prinsip utama dari konvensi tersebut adalah menjunjung tinggi kepentingan terbaik bagi anak.
Meski demikian, program tetap dijalankan. Setelah diterapkan di Bandung dan Purwakarta, program kini menjangkau Kabupaten Cianjur, dengan 30 siswa mulai mengikuti pembinaan di barak militer Batalyon Infanteri Raider 300/Brajawijaya.
Program ini dilaksanakan atas persetujuan orang tua, dan para siswa didampingi oleh psikolog serta petugas kesehatan guna memastikan kondisi emosional dan fisik mereka tetap terjaga.
Jenis pelanggaran yang dilakukan siswa umumnya berkaitan dengan kenakalan remaja seperti tawuran, bolos sekolah, atau konflik dengan orang tua.
Namun, pendekatan dalam program ini bersifat komprehensif.
Tim psikolog akan melakukan asesmen untuk memahami latar belakang perilaku siswa, termasuk faktor lingkungan, keluarga, dan sekolah.
Untuk mendukung kelangsungan program ini, Pemprov Jawa Barat mengalokasikan anggaran sebesar Rp6 miliar dari APBD Tahun 2025.
Dana tersebut dikelola oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan disalurkan kepada pihak pengelola program di barak militer.
“Anggaran sebesar Rp6 miliar sudah disiapkan untuk mendukung pembinaan sekitar 900 siswa. Gelombang pertama melibatkan 350 siswa, dan akan terus disesuaikan sesuai kebutuhan,” jelas salah satu perwakilan Dinas Pendidikan.
Program pembinaan ini direncanakan berlangsung selama enam bulan untuk setiap siswa, dan melibatkan lintas sektor seperti TNI, Polri, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan para psikolog.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga telah menyiapkan 30 hingga 40 barak militer sebagai lokasi pelaksanaan program.***
Sumber : AyoBandung