KARAWANG – Penarikan pajak atas aktivitas galian tanah oleh PT. Vanesha Sukma Mandiri (VSM) di lahan milik PT. Contemporary Amperex Technology Limited (CATL) yang berada di kawasan Karawang New Industry City (KNIC), Desa Wanajaya, Kecamatan Telukjambe Barat, menuai polemik.
Praktisi hukum dan pengamat kebijakan, Asep Agustian SH. MH berpendapat, bahwa lahan dengan status Hak Guna Usaha (HGU) tetap merupakan tanah negara yang hanya diberikan hak guna untuk kepentingan pertanian, perkebunan, perikanan atau peternakan.
“HGU tidak boleh digunakan untuk usaha pertambangan atau galian C (tanah urug, pasir, batu dan sejenisnya), kecuali ada izin tambahan dari pemerintah pusat melalui Kementerian ATR/BPN dan Kementerian ESDM,” tuturnya, Kamis (25/9/2025).
Menurut Askun (sapaan akrab), pemungutan pajak atas penjualan tanah galian dari HGU yang dilakukan secara ilegal tidak memiliki dasar hukum.
“Pemda hanya bisa menarik pajak bila kegiatan galian memiliki izin usaha pertambangan (IUP) dan izin lingkungan. Jika tanpa izin, maka itu bukan objek pajak, melainkan objek penindakan hukum,” katanya.
Askun memaparkan, ada sejumlah regulasi yang harus diperhatikan, seperti UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kabupaten/kota berwenang menarik pajak MBLB, tetapi hanya untuk kegiatan legal dan berizin.
Kemudian, UU No. 3 Tahun 2020 (Perubahan UU Minerba), dimana setiap usaha pertambangan wajib memiliki IUP/IUPK. Dan UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) HGU diperuntukkan hanya untuk usaha pertanian, bukan pertambangan.
“Jika Pemkab tetap memungut pajak dari galian tanah ilegal di atas lahan HGU, maka tidak memiliki dasar hukum. Justru hal ini bisa menimbulkan persoalan hukum baru, seolah pemerintah melegitimasi kegiatan ilegal,” katanya.
Ketua DPC PERADI Karawant ini berpendapat, yang seharusnya dilakukan pemerintah daerah adalah penertiban dan penegakan hukum, bukan memungut pajak dari aktivitas tanpa izin.
Karena menurutnya, dasar hukum yang membolehkan Pemkab menarik pajak hanyalah UU Pajak Daerah jo. Perda Pajak MBLB (mineral bukan logam dan batuan).
“Dan itu hanya berlaku untuk usaha galian resmi yang berizin. Jika tidak, maka yang berlaku adalah sanksi administratif, pidana, maupun perdata bagi pemegang HGU,” pungkas Askun.
Karawang Budgeting Control (KBC) Miliki Pandangan Berbeda
Direktur Eksekutif KBC, Ricky Mulyana menegaskan, bahwa berdasarkan ketentuan perpajakan nasional, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh wajib pajak, baik berasal dari kegiatan utama maupun sampingan, tetap merupakan objek pajak penghasilan (PPh).
Dengan demikian, penjualan tanah disposal hasil cut and fill wajib dilaporkan sebagai penghasilan dan dapat dikenakan PPh sesuai ketentuan.
Lebih lanjut Ricky menjelaskan, apabila pengusaha jasa konstruksi sudah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka transaksi penjualan disposal tanah kepada pihak ketiga juga terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%, kecuali material tersebut termasuk kategori tertentu yang dikecualikan dari objek PPN.
Tidak berhenti di situ, bila tanah disposal tersebut tergolong sebagai mineral bukan logam dan batuan (MBLB), maka transaksi juga dapat dikenakan pajak daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Namun KBC juga menegaskan adanya perbedaan aspek legalitas. Bagi usaha yang memiliki izin resmi, kegiatan tersebut sah dan sepenuhnya dapat masuk dalam ranah perpajakan.
Sedangkan bagi usaha yang tidak memiliki izin, meskipun penghasilannya tetap dapat dikenakan pajak, pelaku usaha berpotensi dikenakan sanksi administratif hingga pidana oleh pemerintah daerah atau aparat penegak hukum.
“KBC menegaskan bahwa tidak ada celah untuk menghindari pajak hanya karena alasan belum berizin. Namun di sisi lain, pemerintah daerah wajib menertibkan setiap usaha tanpa izin, agar tidak terjadi praktik abu-abu yang merugikan daerah maupun menciptakan ketidakadilan bagi pelaku usaha yang patuh aturan,” tegas Ricky Mulyana.
KBC mendesak pemerintah daerah, khususnya dinas teknis, untuk segera melakukan pengawasan ketat terhadap praktik jual beli tanah disposal hasil cut and fill, memastikan setiap potensi pajak dapat dipungut, dan menindak tegas usaha-usaha yang berjalan tanpa izin.
Diketahui, pada 15 Juli 2025 lalu, tim aparat gabungan yang terdiri atas Satpol PP, Polri, dan TNI mendatangi lokasi galian tanah tersebut. PT. VSM diketahui melakukan pengangkutan sekaligus diduga menjual hasil tanah urug dari lahan milik CATL.
Selama beroperasi, perusahaan itu tercatat menunggak pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB) senilai Rp 4,5 miliar. Namun menjelang penutupan oleh Satpol PP, pihak PT. VSM akhirnya melakukan pembayaran cicilan termin pertama sebesar Rp 1,15 miliar yang disetorkan melalui Bank Jabar Banten pada Jumat (8/8/2025) malam.***