KARAWANG – Tangis tak selalu datang dari ladang yang kering. Kadang, ia mengalir di ruang-ruang rapat yang dingin. Di salah satu bilik rapat DPRD Karawang, Jumat (3/10/2025) siang itu, suara jeritan hati para petani menggema. Bukan karena gagal panen, atau bukan pula soal harga pupuk yang meroket.
Kedatangan para petani dibawah komando Deden Sofian-Ketua STAKAR (Serikat Tani Karawang) ini adalah untuk mengadukan persoalan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang tiba-tiba membengkak, meski mereka merasa sudah membayar.
Salah satu suara paling pilu datang dari Narmi, seorang petani perempuan asal Rawamerta. Ia berdiri di hadapan anggota Komisi II DPRD Karawang dan perwakilan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dengan mata berkaca-kaca.
“Mungkin bukan saya doang, tapi hampir semua yang bernasib sama. Kami sudah bayar lewat desa, tapi sekarang katanya harus bayar lagi,” keluhnya getir.
Keluhan Narmi ternyata bukan kasus tunggal. Sejumlah petani dari berbagai kecamatan di Karawang mengalami hal serupa. Mereka terkejut ketika ingin mengurus balik nama atau mencetak ulang SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang), dan mendapati tunggakan PBB yang nilainya jutaan rupiah. Padahal, tahun demi tahun mereka merasa telah melunasi kewajiban itu seperti biasa melalui perangkat desa.
Masalah ini berakar dari sebuah kebiasaan yang telah berlangsung puluhan tahun, membayar PBB melalui RT, RW, atau aparat desa. Dulu, ini adalah cara yang paling mudah dan dipercaya masyarakat desa. Mereka menyerahkan uang, mendapatkan kuitansi manual, lalu merasa tenang. Pajak dianggap lunas.
Sejak tahun 2021, Pemerintah Kabupaten Karawang mengubah sistem pembayaran PBB secara menyeluruh. Demi meningkatkan akurasi data dan mencegah kebocoran, pembayaran kini hanya diakui jika dilakukan melalui kanal resmi yang terintegrasi langsung dengan kas daerah.
“Warga sekarang harus membayar lewat Bank BJB, kantor pos, Indomaret, Alfamart, Tokopedia, Bukalapak, atau kanal digital lain yang sudah bekerja sama dengan pemerintah,” tegas Sahali Kartawijaya, Kepala Bapenda Karawang.
Ia menambahkan, kuitansi dari aparat desa meskipun ada dan terlihat sah tidak akan tercatat jika tidak masuk ke sistem perbankan. Akibatnya, meski warga merasa sudah bayar, dalam sistem, tagihan tetap muncul.

Uang Melayang, Pajak Menggantung
Yang membuat situasi makin menyakitkan adalah kenyataan bahwa pembayaran yang sudah dilakukan melalui desa tidak bisa diklaim ulang jika tidak ada bukti pembayaran resmi. Bapenda menegaskan, hanya struk bank atau mitra digital yang dianggap sah.
“Kami memahami keresahan warga, tapi kami tidak bisa mengakui pembayaran yang tidak masuk ke sistem resmi. Sistem kami berbasis digital dan terhubung langsung dengan kas daerah. Kalau tidak terekam di sana, secara hukum itu dianggap belum bayar,” lanjut Sahali.
Petani pun terjepit di antara dua batu: ingin taat pajak, tapi terperangkap dalam sistem lama yang tak lagi berlaku. Mereka harus membayar lagi untuk menyelesaikan urusan legalitas tanah, padahal uang sudah keluar sebelumnya.
Beberapa bahkan mengaku sudah membayar PBB lebih dari 5 tahun berturut-turut lewat desa—dan semuanya kini dianggap belum sah.
Tanggung Jawab Siapa?
Di tengah keresahan ini, muncul pertanyaan besar: siapa yang harus bertanggung jawab?
DPRD Karawang mendesak Bapenda dan pemerintah desa untuk duduk bersama mencari solusi. Anggota Komisi II DPRD Karawang, Dedi Suherman, menilai perlu adanya upaya mediasi dan edukasi yang lebih masif ke masyarakat.
“Ini bukan hanya soal sistem, tapi soal komunikasi dan transisi yang belum selesai. Warga butuh kejelasan. Jangan sampai mereka yang sudah beritikad baik justru jadi korban,” ujar Dedi.
Di sisi lain, beberapa pihak menyoroti lemahnya pengawasan terhadap aparat desa yang masih menarik pembayaran pajak secara manual, padahal sistem sudah digital. Dugaan adanya pungutan liar pun mulai menyeruak, meski belum ada bukti konkret.
Pelajaran Mahal: Ikuti Sistem, Hindari Kerugian
Kisah Narmi dan para petani lainnya menjadi cermin mahal tentang pentingnya mengikuti sistem baru dalam urusan keuangan negara. Pemerintah telah membuka banyak kanal pembayaran resmi yang mudah diakses, bahkan oleh warga desa yang minim teknologi.
Namun kenyataannya, budaya lama sulit diubah hanya dengan surat edaran. Dibutuhkan pendekatan langsung, sosialisasi intensif, dan pendampingan aktif agar masyarakat benar-benar paham dan siap beradaptasi.
Jangan Dua Kali Membayar
Hingga hari ini, tak sedikit warga yang masih berjuang membuktikan bahwa mereka pernah membayar. Tapi tanpa bukti digital atau struk dari kanal resmi, perjuangan itu cenderung sia-sia.
Narmi dan kawan-kawannya kini hanya bisa berharap agar pemerintah membuka ruang penyelesaian yang adil bukan semata-mata berdasarkan sistem, tapi juga berdasar realitas di lapangan.
Bagi warga lain, ini adalah peringatan keras: soal pajak, jangan anggap enteng. Pastikan membayar lewat jalur resmi, simpan bukti pembayaran, dan jangan lagi serahkan nasib pajak pada kebiasaan lama.
Karena dalam dunia yang serba digital, sistem tak lagi mengenal “kata orang desa.” Yang diakui hanya data dan data tak pernah berbohong. (NuansaMetro)