SETIAP saat, juragan peternak sapi berhak melakukan proses pemerasan susu terhadap sapi yang dipelihara di kandang peternakannya. Seekor sapi perah akan berdiam diri tak melakukan perlawanan, sebab sadar dengan kesesuaian qodrat dan anatomi tubuhnya.
Tentu beda bila perlakuan tersebut terjadi pada sapi pedaging atau hewan predator.
Peternak adalah ilustrasi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk “memeras” atau melakukan pemaksaan dengan berlandaskan pada undang-undang atau hukum positif yang melegitimasi tindakannya.
Sementara sapi perah adalah warga negara yang harus rela menjadi objek dari salah satu produk aturan negara bernama pajak, termasuk dalam hal ini para pengusaha.
Bedanya, kepatuhan sapi perah karena sudah ditakdirkan Tuhan menghasilkan susu melalui proses pemerasan, sementara pengusaha wajib nurut manut akibat pilihan jalan hidup, status atau profesi yang disandangnya.
Jadi, seorang pengusaha yang baik tak perlu merasa gusar, apalagi mencari-dalil dan siyasah dalam upaya menyembunyikan/mengemplang kewajibannya, sebab pajak adalah kontribusi wajib kepada negara oleh pribadi ataupun badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dan ditujukan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam beberapa hari ini relasi antara “Juragan Ternak vs Sapi Perah” sedang berpolemik serius. Jika ditarik benang merah, pointer yang diperdebatkan diantaranya mengenai obyek pajak, wajib pajak dan juga cara penarikan pajak.
Obyek pajak ialah penghasilan atau tambahan kemampuan ekonomi yang diterima oleh wajib pajak. Pada point ini, pengusaha berdalih hanya melakukan aktivitas Cut and Fill, menggali tanah dari satu titik untuk digunakan sebagai material timbunan di titik lain pada satu lokasi proyek demi meratakan permukaan lahan.
Sedangkan versi pemerintah, faktanya tanah hasil galian tersebut dibawa keluar dan diperjual belikan (bukan disposal biasa) oleh pengusaha dengan volume yang banyak. Sehingga aktivitas tersebut masuk dalam kategori obyek pajak.
Perdebatan kedua yaitu tentang wajib pajak (orang atau badan yang mempunyai kewajiban pajak). Sebagian pihak berpendapat bahwa PT. VSM belum memiliki ijin aktivitas penambangan, maka Pemda harusnya menutup kegiatan tersebut, bukan malah menjadikannya sebagai wajib pajak.
Namun, Pemda justru merasa punya bukti kuat dan akurat bahwa perusahaan tersebut sudah mengantongi Surat Ijin pertambangan, sehingga penarikan pajak terhadap PT. VSM adalah legal dan resmi.
Polemik paling seru terjadi pada cara/ metode Penarikan pajak yang dipersepsikan oleh pihak “pengusaha wajib pajak” sebagai TINDAKAN PEMERASAN, lalu menjadi celah untuk memukul balik, secara pidana maupun perdata.
Bisa jadi persepsinya didasarkan pada moment kedatangan rombongan Pemda bersama unsur Muspida di malam hari ke lokasi proyek, dan memang situasi saat itu penuh ketegangan dan intimidasi menjurus bentrok fisik.
Meski akhirnya membayar (menyicil), pengusaha berdalih bahwa sejak lama berniat membayar, dan justru Pemda malah slow respon, tapi perusahaan mengisyaratkan kesan keberatan dan sangat terpojokan atas perlakuan Pemda.
Akibatnya PT VSM jadi bahan bully, cemoohan serta dicap publik sebagai pengemplang pajak.
Tetapi lagi-lagi, tuduhan “pengusaha dan simpatisannya” justru bertolak belakang dengan data Pemda dan fakta sebenarnya.
Kedatangan rombongan ASN ke lokasi proyek adalah opsi terakhir setelah upaya persuasif mengalami jalan buntu. Lebih dari sekali Pemda mengirimkan surat penagihan, tapi tetap diabaikan oleh PT. VSM tidak ada respon positif untuk menyelesaikannya.
Setelah “digeruduk dan dipaksa”, hutang pajak barulah dibayar, melalui rekening resmi di BJB, tidak atas nama rekening pribadi seseorang. Itu pun dengan cara menyicil, tidak langsung dilunasi sesuai pajak terhutang.
Terang benderang bahwa kasus tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan pemerasan, sebab secara kelembagaan, tidak ada negara/ pemerintah disangkakan dan dijerat oleh pasal pemerasan.
Dalam berbagai kasus hukum, pemerasan terkena pada oknum/ personal, bukan pada lembaga pemerintahan. Apalagi jika kita mengkaji Unsur subyektif pemerasan, yakni adanya maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, sementara fakta dan data memperlihatkan bahwa uang hutang pajak PT. VSM disetorkan oleh pihak mereka sendiri ke rekening resmi Pemda di BJB..
Terakhir, Mayoritas publik berharap Polemik yang mengarah adu gengsi & adu kuat jejaring antara pengusaha VS Penguasa, tidak seperti “gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.
Namun selayaknya menghasilkan nilai tambah bagi keberhasilan pembangunan, kepatuhan pengusaha, dan peningkatan tata kelola pemerintahan yg makin transparan, profesional serta akuntable. (Opini Pembaca)
Ditulis oleh :
DADAN SUHENDARSYAH
Direktur Propaganda LBH Cakra Indonesia