Warga Jabar Puas dengan Kepemimpinan Dedi Mulyadi, Tapi Kinerja Birokrasi Masih Jadi PR

0
5

BANDUNG – Terlepas dari sentimen negatif maupun positif dari individu, mayoritas masyarakat Jawa Barat nyatanya mengapresiasi kerja Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi. Hal tersebut tergambar dari beberapa survei persepsi publik.

Dalam survei yang dilakukan oleh Tirto bekerja sama dengan Jakpat pada 16-17 Juni 2025, narasinya cenderung positif. Dari 1.250 orang responden warga Jawa Barat, sebesar 85,51 persen, memberi nilai setidaknya baik terhadap kepemimpinan Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat.

Secara lebih terperinci, 48,04 persen responden menilai kepemimpinan Dedi Mulyadi berada dalam kategori sangat baik. Sementara itu, 37,47 persen lainnya memberikan penilaian dalam kategori baik. Hanya 2 persen responden yang menilai kepemimpinan Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat dalam kategori kurang atau tidak baik.

Tingkat kepuasan yang relatif tinggi ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia, pada 12–19 Mei 2025. Dalam survei tersebut, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Gubernur Dedi selama 100 hari pertama masa jabatannya mencapai angka 94,7 persen.

Tingkat kepuasan ini merupakan yang tertinggi di antara lima gubernur lain di Pulau Jawa, menjadikan Dedi Mulyadi sebagai kepala daerah dengan tingkat apresiasi publik tertinggi. Tingkat kepuasan terhadap Dedi misalnya, unggul dibanding Gubernur Jakarta, Pramono Anung (60 persen) dan Gubernur Banten, Andra Soni (50,8 persen).

Pakar politik yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menilai temuan survei yang menunjukkan tingginya tingkat kepuasan publik terhadap KDM –Kang Dedi Mulyadi, nama populer lain dari Dedi– tidak mengejutkan.

Dedi dinilai konsisten membangun keterlibatan masyarakat, salah satunya dengan membagikan aktivitas hariannya secara intensif di media sosial —mulai dari kebijakan, kegiatan kerja, hingga aktivitas blusukan ke masyarakat. Pendekatan ini membangun kedekatan dan kepercayaan publik, sekaligus menjadi refleksi dari kerja nyata yang dijalankannya selama ini.

Berita Lainnya  Arab vs Bahrain 2-0, Indonesia Masih Memiliki Kesempatan Lolos Piala Dunia 2026

“Apa yang dilakukan KDM di Jawa Barat sesungguhnya menjalankan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, efektif, dan bersih. Di sana ada transparansi kinerja, ada soal akuntabilitas, terkait juga dengan partisipasi, kemudian keterlibatan publik ya, dalam artian sesungguhnya,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (17/6/2025).

Terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah Putra, menilai tingginya tingkat kepuasan publik terhadap Demul sebagai sesuatu yang wajar. Sebab, gaya kepemimpinan Dedi yang dianggap berbeda dari pejabat pada umumnya.

“Itulah sebab Dedi Mulyadi disukai. Karena dianggap berbeda dan terkesan memihak masyarakat,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (18/6/2025).

Menurut Dedi Kurnia, masyarakat selama ini jenuh dengan figur pemimpin yang elitis dan hanya berkutat pada urusan birokrasi. Sejumlah kepala daerah tak pernah turun langsung dan mengambil keputusan populis seperti yang dilakukan KDM.

Di sisi lain, kebijakan populis yang banyak diterapkan Demul menyimpan risiko dalam jangka panjang. Terutama dalam hal tata kelola pemerintah yang birokratis.

“Misalnya soal mengirim anak ke barak militer, jelas ini program jangka pendek sekaligus menggunakan anggaran dengan tidak produktif. Kelemahan masyarakat kita saat ini mudah terpesona dengan hal yang instan, hanya sedikit yang mampu melihat substansi kebijakan serta urgensinya,” kata Dedi Kurnia.

Kebijakan Kontroversial Mendapat Respons Positif

Hasil survei Tirto bersama Jakpat juga menunjukkan sejumlah kebijakan Dedi Mulyadi yang sempat menuai perdebatan di media sosial—seperti pengiriman siswa nakal ke barak militer dan wacana memajukan jam sekolah menjadi pukul 06.30—justru mendapat respons positif dari mayoritas responden di Jawa Barat.

Tirto sebelumnya memotret pro dan kontra di ruang digital dari kebijakan Gubernur Dedi. Pemetaan Drone Emprit di berbagai platform media sosial mencatat 38 persen sentimen negatif, dengan sorotan utama pada anggapan bahwa Dedi lebih menonjolkan pencitraan dibanding substansi. Beberapa warganet juga mempertanyakan etika dan efektivitas kebijakan yang dianggap kontroversial atau simbolik.

Berita Lainnya  Gempar! Usai Gorok Istri Saat Tidur Lelap, Bos Seblak di Karawang Lakukan Percobaan Bunuh Diri

Menariknya, dari penjajakan pendapat Tirto dan Jakpat, sebanyak 83,43 persen responden memandang positif kebijakan Dedi Mulyadi mengirim siswa yang dianggap nakal ke barak militer. Dengan rincian 46,20 persen responden mengaku sangat setuju dengan kebijakan tersebut dan 37,23 persen setuju. Hanya 3,04 persen responden yang tak sepakat dengan program tersebut.

Respons positif juga ditemukan pada kebijakan Dedi Mulyadi lain yang memajukan jam masuk sekolah di Jawa Barat menjadi pukul 06.30 pagi. Sebanyak 47,55 persen responden memberi impresi positif pada program tersebut. 33,31 persen responden lainnya memilih netral dan hanya total 19,13 persen responden yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut.

Agung Baskoro dari Trias Politika Strategis, menganggap wajar ada kesenjangan hasil survei presepsi publik —yang menunjukkan citra positif terhadap kebijakan Deddy Mulyadi—dan sentimen negatif yang muncul di media sosial. Menurutnya, perbedaan ini bisa disebut sebagai reality gap, atau kesenjangan realitas, yang mencerminkan bagaimana persepsi publik di dunia nyata tidak selalu sejalan dengan dinamika di ruang digital.

“Karena kita tidak bisa memverifikasi di sosmed siapa respondennya kemudian soal metodologinya,” ujarnya.

Sependapat, Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menegaskan bahwa opini yang muncul di media sosial tidak bisa disamakan dengan opini publik secara menyeluruh. Hal ini, katanya, mencerminkan kuatnya ‘halo effect’ (bias kognitif dari kesan pertama yang memengaruhi penilaian keseluruhan) dan popularitas Dedi Mulyadi di mata publik.

Selama efek tersebut tetap dominan, masyarakat cenderung menilai setiap kebijakan atau tindakan sang gubernur secara positif, sering kali tanpa disertai evaluasi kritis. “Dan inilah yang membuatnya berbahaya bagi demokrasi. Karena akhirnya siapapun yang mengkritik harus berhadapan dengan pendukung –yang kadang-kadang juga– bertindak selayaknya fans bola yang bisa bahkan mati-matian membela timnya,” ujarnya.

Berita Lainnya  Korupsi Pengelolaan Pasar, Kades dan Direktur BUMDes di Subang Ditetapkan Tersangka

Pekerjaan Rumah Dedi Mulyadi

Agung Baskoro dari Trias Politika Strategis, melihat bahwa hasil survei yang menunjukkan tingginya kepuasan merupakan sinyal positif bagi KDM. Namun, ini juga sekaligus menjadi pengingat bahwa pekerjaan belum selesai.

Menurut dia, kepemimpinan tidak bisa hanya bergantung pada figur kuat semacam, “manajemen superman”, tetapi harus dibangung menjadi, “manajemen super team” –yakni sistem yang solid, terstruktur, dan didukung oleh tim birokrasi yang memiliki visi dan semangat yang sama dengan sang gubernur.

“Wakil gubernurnya, kepala-kepala dinasnya, birokrat-birokratnya juga harus sama berinisiatifnya, berinovasinya, merakyatnya. Supaya apa? Supaya ini bisa menjadi sesuatu yang bisa diwariskan dan menjadi sebuah legacy yang konsisten seperti itu,” katanya.

Apa yang disampaikan Agung mungkin tercermin dari hasil survei Indikator Politik Indonesia. Hasil survei mereka menunjukkan adanya ketimpangan indeks kepuasan Gubernur Jawa Barat dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Laporan Indikator menunjukkan indeks kepuasan Pemprov Jabar hanya 53 persen, berbanding Dedi Mulyadi mencapai 94,7 persen.

Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan ini tanda Dedi belum sepenuhnya berhasil mengarahkan kinerja birokrasi Pemprov Jabar secara maksimal.

Tak hanya dengan Pemprov, tingkat indeks kepuasan antara Dedi Mulyadi dan wakilnya, Erwan Setiawan juga jomplang. Erwan hanya mendapatkan skor kepuasan 61,3 persen, jauh di bawah Dedi yang mendapatkan skor 94,7 persen.

“Dedi Mulyadi belum memaksimalkan semua birokrasi pemerintahan provinsinya untuk maju bersama-sama. Ini sekaligus masukan buat KDM untuk menyertakan instrumen birokrasinya, pemerintahannya,” kata Burhanuddin Tirto kutip, Rabu (28/5/2025). (Sumber : Tirto.id)

Catatan Redaksi: Artikel ini ditayangkan secara otomatis. Validitas dan isi sepenuhnya tanggung jawab redaksi opiniplus.com dan dapat mengalami pembaruan..
Bagikan Artikel>>

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini