Sebagian orang mungkin masih bertanya, kenapa Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi begitu concern terhadap persoalan lingkungan, khususnya kerusakan gunung, hutan dan perkebunan di bagian hulu Jawa Barat.
Begitu melihat kerusakan lingkungan, maka Dedi Mulyadi pasti akan ‘ngamuk’.
Jawabannya sederhana. Karena ‘Bapak Aing’ memiliki prinsip membangun daerah dengan teori ‘Gunung Kudu Awian, Lengkob Kudu Balongan, Lebak Kudu Sawahan’.
Teori dan prinsip dasar membangun daerah ini sebenarnya sudah pernah diungkapkan jauh-jauh oleh Dedi Mulyadi sebelum resmi dilantik menjadi Gubernur Jawa Barat.
Yaitu dimana saat Dedi Mulyadi melakukan diskusi dengan Komisi II DPRD Jawa Barat pada 12 Februari 2025 lalu.
Dimana saat itu Dedi Mulyadi mengungkapkan gagasan pembangunan akan membangun ‘Kampung Buhun’ di kaki-kaki gunung yang ada di wilayah Jawa Barat.
Tujuannya, ya untuk menjaga ekosistem dan kelestarian lingkungan di wilayah pegunungan yang sudah banyak mengalami alih fungsi.
Bahkan Dedi Mulyadi juga berencana akan membeli semua mata air di wilayah pegunungan yang sudah mulai banyak dikuasai oleh pihak swasta.
Jadi wajar, sebelum resmi dilantik menjadi gubernur, Dedi Mulyadi sudah ‘gaspol’ menutup dan menertibkan tambang-tambang ilegal di Jawa Barat.
Makna ‘Gunung Kudu Awian, Lengkob Kudu Balongan, Lebak Kudu Sawahan’.
Teori dasar membangun daerah ini sebenarnya sudah pernah dilakukan Dedi Mulyadi saat menjabat Bupati Purwakarta 2 periode.
Pertama, gunung kudu awian. Artinya, Dedi Mulyadi menegaskan bahwa kawasan hutan di wilayah pegunungan harus selalu hijau dengan pepohonan, khususnya pohon awi (bambu) yang bisa menahan bencana longsor saat hujan turun.
Kedua, lengkob kudu balongan. Artinya lembah di kaki gunung harus selalu ada kolam atau danau, baik itu danau alami yang terbentuk oleh alam, maupun danau buatan yang dibuat manusia.
Ketiga, lebak kudu sawahan, yang artinya daerah landai harus ditanami padi. Sehingga dengan ketiga prinsip ini, ketika hujan turun, air tidak seluruhnya turun ke bagian hilir atau bawah. Karena air akan terserap bambu dan pohon-pohon lain.
Sisanya air akan diserap hutan kemudian akan mengalir ke kolam-kolam penampungan, seperti danau atau kolam yang secara alamiah biasanya ada di kaki atau pinggir gunung.
Sementara sisa air yang tidak tertampung di danau akan mengalir ke persawahan di daerah landai, baik itu berupa rawa atau sawah. Daerah landai inilah yang berfungsi menampung air.
“Kalau tiga prinsip itu hilang dalam tata kelola lingkungan, banjir adalah hal logis yang harus diterima,” ujar Dedi Mulyadi, dilansir dari dokumentasi berita Kompas.com, saat ia masih menjabat sebagai Bupati Purwakarta.
Dedi Mulyadi menjelaskan, logika yang digunakan dalam penyelesaian banjir saat ini hanya bersifat sementara. Misalnya pengerukan, normalisasi sungai, gorong-gorong, hanya penyelesaian sesaat jika daerah hulu tidak dibenahi.
“Kalau setiap orang hanya berpikir membuang air, maka banjir tidak selesai. Yang ada hanya memindahkan,” tuturnya.
So, sekarang kita sudah paham mengapa Kang Dedi Mulyadi selalu marah-marah bahkan terkadang beberapa kali momentum menangis, saat melihat kerusakan lingkungan.
Maka wajar ketika hari ini semua bangunan rekreasi di wilayah hulu Kawasan Puncak Bogor dibongkar Dedi Mulyadi dan dikembalikan fungsinya sebagai kawasan hutan dan perkebunan.
Karena untuk menangani persoalan banjir dan longsor, maka harus diselesaikan terlebih dahulu persoalan di wilayah hulu-nya. Baru-lah kemudian dicarikan solusi di wilayah hilir.
Karena inilah prinsip dasar Dedi Mulyadi untuk menjaga ekosistem dan kelestarian lingkungan hidup di Jawa Barat : ‘Gunung Kudu Awian, Lengkob Kudu Balongan, Lebak Kudu Sawahan’. (Opini Redaksi)
Ditulis Pimres Opiniplus.com – Mang Adk